Melirik Peluang Bisnis Kakao
Rabu, 20 Juni 2012 - 09:36:18 WIB
Melirik Peluang Bisnis Kakao
Diposting oleh : septian - Dibaca: 526 kali
Produsen makanan terutama yang berasal dari Eropa dan Amerika mulai memenuhi stok kakao untuk bahan baku pembuatan cokelat. Tak heran kenaikan terjadi sebab produk olahan kakao yang sangat bervariasi itu memang menjadi incaran banyak pihak terutama di hari-hari besar atau jelang pergantian tahun. Lalu, bagaimana dengan komoditas agribisnis kakao lokal? Apakah komoditas tersebut juga laris manis, semanis produk olahannya, dan patut dilirik?
CocoaIndonesia mempunyai perkebunan kakao cukup luas dengan hasil panen yang mampu memberikan sumbangan devisa bagi negara serta turut aktif meningkatkan sektor agroindustri. Sejak era 1980-an, perkebunan kakao di tanah air berkembang pesat dengan luas lahan perkebunan kakao saat ini mencapai kurang lebih 1,1 juta ha dan jumlah produksi sekitar 730 ribu ton/tahun biji kakao.
Konsumsi
Konsumsi kakao pada dasarnya dapat dibedakan antara konsumsi biji kakao dan konsumsi cokelat, dimana konsumsi biji kakao dihitung berdasarkan kapasitas pengolahan atau grinding capacity, sementara konsumsi cokelat dihitung berdasarkan indeks per kapita. Dalam perdagangan kakao, yang menentukan harga kakao dunia adalah konsumsi biji kakao yang mempunyai relasi erat dengan produksi serta interaksi yang terjalin diantara keduanya. Harga kakao akan bergerak naik bila konsumsi biji kakao lebih besar dari produksinya dan begitu pula sebaliknya, harga kakao akan merosot turun jika konsumsi biji kakao lebih kecil dari produksi.
Perdagangan
Perdagangan kakao Indonesia di pasar dunia dinilai terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Dari data Kementerian Perindustrian, ekspor kakao olahan Indonesia meningkat dari Rp1,2 triliun pada Januari-Mei 2010 menjadi Rp2 triliun pada tahun 2011. Ekspor cokelat untuk periode yang sama juga turut naik dari Rp106 miliar pada tahun 2010 menjadi Rp139 miliar pada tahun 2011.
Sementara jika ditilik dari dalam negeri, agroindustri ini juga mengalami peningkatan. Dari penjelasan Direktur Eksekutif Asosiasi Industri Kakao Indonesia (AIKI), Sindra Wijaya, konsumsi biji kakao oleh industri dalam negeri meningkat menjadi 180.000 ton pada 2010 dari 125.000 ton pada 2009. Tahun ini, industri kakao dalam negeri diprediksi akan mampu menyerap 280.000 ton biji kakao. Dari peningkatan penyerapan industri domestik tersebut, diharapkan cocoa powder, cocoa butter dan cocoa cake Indonesia bisa mencapai 200.000 ton pada 2012.
Sambung samping
Bagi yang tertarik membudi daya kakao, cobalah teknik sambung samping. Teknik itu adalah teknik perbaikan tanaman tua tanpa harus membongar tanaman. Dari penjelasan laman Bertani, pada prinsipnya sambung samping menggabungkan atau menyambung batang bawah dengan klon yang dikehendaki.
Secara ekonomis teknik sambung samping cukup menguntungkan. Pelaksanaannya, tak perlu menunggu terlalu lama untuk panen. Prosedurnya seperti ini. Penyambungan sebaiknya dilakukan pada pagi hari dan awal musim hujan agar tanaman yang akan disambung masih dalam keadaan segar dan mudah terkelupas. Teknisnya, batang kakao dikerat pada ketinggian 40-60 cm dari permukaan tanah.
Setelah itu batang disayat dengan pisah bersih selebar 1 cm dengan panjang 2-4 cm. sayatan dibuka dengan hati-hati agar tak merusak cambium. Lalu entres dimasukkan dengan hati-hati ke dalam lubang sayatan sampai ke dasar sayatan dan sebelum plastik penutup dipasang, kulit batang tanaman pokok ditutup kembali sambil ditekan dengan ibu jari dan diikat.
Dengan teknik sambung samping, kakao lebih cepat dipanen yaitu ketika berumur 14-18 bulan dengan produksi mencapai 1.500 kg sampai 2.500 kg/ha/thn. (*/dari berbagai sumber)
Di Makassar, media mainstream irit menyorot kisah sukses para perantau asal Sulawesi Selatan di daerah tetangga, seperti Sulawesi Tenggara dan Tengah. Dia dianggap tidak menarik. Tidak istimewa. Mereka lebih sering mewartakan cerita sukses perantau dari Jakarta, Surabaya, Kalimantan, hingga Batam bahkan di negeri jiran.
Mari melongok ke tenggara pulau Sulawesi, di sana kiprah para perantau asal Bugis-Makassar sangat jelas terlihat. Tengoklah di etalase ekonomi maupun panggung politik. Para perantau itu sukses setelah ulet bekerja, membuka lahan usaha tanpa kenal lelah dan rela menderita di awalnya. Mereka datang dari kelas pekerja, pekebun, nelayan, pedagang hingga tokoh masyarakat yang mencoba peruntungan nasib di kampung seberang.
***
Dalam perjalanan menuju Kota Watampone, saya sempat berkenalan dengan salah seorang pekebun kakao yang sukses di Kolaka, Sulawesi Tenggara. Setidaknya melihat investasi luas lahan dan predikat haji yang disandangnya. Namanya, Haji Kahar asal Camba, Maros.
Haji Kahar bercerita bahwa di daerah Kolaka tempatnya tinggal kini, warga Bugis-Makassar sangat banyak. Banyak nama kampung yang menggunakan bahasa Bugis atau Makassar. “Ada daerah di Kolaka namanya kawasan TOSIBA, alias Tondong, Sinjai, Balangnipa,” Katanya.
“Saya kira 80 persen penduduk Kolaka adalah pendatang dari Sulawesi Selatan,” Katanya. Warga asli menurut Haji Kahar disebut suku Bingkoka atau Tolaki. Mereka juga berkebun walau tidak sebanyak warga pendatang.
“Bupati Kolaka sekarang adalah warga asal Kabupaten Soppeng. Sedangkan Bupati di Kabupaten Kolaka Utara adalah orang Bone,” Kata Haji Kahar yang saat itu pulang ke Camba karena orang tuanya meninggal dunia. Kahar muda lahir dan besar di Camba namun kini menetap di Kolaka sebagai pekebun. Usaha kakao ini digelutinya sejak awal tahun 80an. Dia membeli dan membuka lahan kakao pada tahun itu. “Harganya masih Seratus ribu perhektar saat itu. Untuk membuka lahan pun mesti kerja keras karena semak dan belukar sangat padat,” Katanya. Kakaolah yang membuatnya tetap bergairah di masa tuanya kini.
Dia bercerita tentang harga kakao yang fluktuatif dan kerap sulit diprediksi lonjakannya. Informasi dari Haji Kahar menyebutkan bahwa pada tahun 1997 harga kakao menembus angka Rp. 24ribu perkilo. Saat itu harga melonjak drastis karena krisis ekonomi sehingga nilai ekspor besar sekali. Banyak pekebun kakao naik haji. Mereka kaya mendadak.
Harga kakao pada tahun 2009 juga sangat tinggi tetapi kisaran ini tidak berbeda jauh dengan harga sebelumnya yang stabil di angka Rp.20ribu. “Sempat mencapai harga Rp. 27ribu,” Katanya. Harga kakao saat ini di Kolaka berkisar antara Rp. 18ribu hingga Rpm 20ribu di tingkat petani. “Sekarang kita mesti telaten dan giat di kebun, tantangannya juga semakin berat,” katanya. Menurut Haji Kahar, walau tetap merawat kebunnya dengan pemangkasan daun ranting serta mengatur masa panen namun serangan kanker batang dan buah telah mengurangi produksinya.
“Dulu, saat mulai membuka lahan kakao pada tahun 1986, tanaman kami sangat subur. Hingga panen perhektarnya dapat menjadi 300-500 kgs kering. “Saat ini, produksi kakao semakin berkurang karena adanya serangan penyakit itu,” Lanjutnya. Untuk menghindari serangan penyakit Haji Kahar mengatur waktu panennya.
“Biasanya kami giatkan panen pada bulan Pebruari hingga Maret. Saat itu serangan busuk buah kerap ada,” Katanya.
“Saya beli lahan saat itu saat harga masih Rp. 100seribu perhektar di daerah Lapai,” Katanya. Sekarang Haji Kahar telah mengelola 10 hektar kakao di wilayah Kolaka Utara. Dia dibantu oleh anggota keluarganya. Sementara anaknya juga telah mempunyai lahan kakao sendiri.
“Panen biasanya dilakukan dua kali sebulan. Dalam satu hektar dapat menghasilkan Rp. 6 Juta kotor,” Terangnya. Menurutnya, karena ada pekerja yang membantunya maka diberlakukan bagi hasil. “Ada lahan saya yang dikerjakan orang lain jadi berlaku sistem bagi hasil,” Ungkapnya.
“Tapi sekarang produksi tidak stabil, Tidak terlalu bagusmi hasilnya,” kata Haji Kahar dalam logat Maros yang masih jelas. Haji Kahar naik haji tahun 1979 saat masih tinggal di Camba. Tiga puluh tahun kemudian, tepatnya tahun 2009, dia naik haji untuk yang kedua kalinya. Dia bermukim di daerah Samaturu, Kabupaten Kolaka, Sulawesi Tenggara bersama keluarganya. Kunjungannya ke Camba kali ini hanya sendiri. Setelah ini dia akan menempuh perjalanan dengan fery dari Bajoe, Bone menuju Kolaka dengan waktu tempu 10 jam. Kembali ke kampung keduanya.
“Nanti saya akan naik mobil lagi untuk sampai ke rumah,” Katanya.
Dengan mengelola lahan seluas 10 hektar, Haji Kahar dapat menyekolahkan anaknya. Bukan hanya anak dan anggota keluarga lainnya yang memperoleh manfaat dari hijrahnya ke Kolaka ini, beberapa warga kampung di Camba juga memilih berkebun kakao, seperti yang dilakukannya.
“Ada beberapa anak saya yang sekolah bahkan kuliah namun tetap tertarik berkebun kakao. Anak saya yang kelima sedang membangun rumahnya di Sudiang, Makassar,” katanya saat kami berpisah.
Watampone, 26/10/2010
Kakao merupakan salah satu buah hasil perkebunan di kawasan tropis. Keberadaan tanaman ini tersebar hingga ke berbagai negara seperti kawasan Amerika selatan, kawasan Afrika, serta wilayah Indonesia. Di Negara Indonesia sendiri, buah kakao banyak ditemukan di daerah Sulawesi, Sumatera, Jawa, Flores serta Nusa Tenggara Timur.
![](https://lh3.googleusercontent.com/blogger_img_proxy/AEn0k_ud_JgTP5KpmqeBj7RTiEbnsMLOciX8mULdxahR2q2qN5fFANKX_abKJFXIKgJ0MnQEEe7PrgyCuQ7C6DLT_bX9TC3xivbQnviXYXM6cH8wzNYu5_0lIOHP-amTc_A=s0-d)
Kakao adalah komoditas perkebunan yang bernilai ekonomi tinggi. Tanaman yang merupakan bahan baku cokelat ini dapat berbuah sepanjang tahun. Makanya, banyak petani kepincut membudidayakannya. Seorang pembudidaya kakao di Semarang meraup omzet Rp 2 miliar per bulan.
Kakao atau Theobroma cacao L., merupakan salah satu komoditas perkebunan yang cocok dengan kultur tanah dan iklim di Indonesia. Tanaman ini termasuk golongan tumbuhan tropis.
Tanaman penghasil biji kakao ini berasal dari daerah hutan tropis di Amerika Selatan. Di habitat asalnya, kakao biasa tumbuh di bagian hutan hujan tropis yang terlindung di bawah pohon-pohon besar.
Di Indonesia, kakao banyak tumbuh di daerah Sulawesi, Lampung, dan Flores, Nusa Tenggara Timur. Maklum, di daerah tersebut banyak terdapat lahan tidur yang cocok ditanami kakao.
Apalagi, hasil komoditasnya yang bernilai ekonomi tinggi mendorong minat para petani di sana untuk membudidayakannya. Namun, tidaklah mudah membudidayakan tanaman ini. Persiapan naungan dan lahan merupakan dua hal penting yang perlu diperhatikan. Naungan itu bisa berupa tanaman pelindung, seperti lamtoro, gleresidae, dan albazia. Selebihnya, proses membudidayakan kakao tak terlalu rumit.
Adalah Bagus Soesintho, salah seorang petani yang sukses membudidayakan tanaman kakao. Di bawah bendera usaha PT Marga Okapallo di Semarang, Jawa Tengah, dia membudidayakan kakao di sejumlah daerah, seperti di Flores, NTT.
Selain memiliki lahan budidaya sendiri, dia juga menerapkan pola inti plasma untuk bekerjasama dengan masyarakat sekitar. Bentuknya adalah kelompok mitra.
Dalam kemitraan tersebut, Bagus menyediakan modal, mulai dari bibit, pupuk hingga penyuluhan kepada masyarakat. Saat ini, petani kakao yang menjadi mitra binaannya tersebar di tiga kabupaten di Flores.
Karena bentuknya inti plasma, maka hasil panen kakao petani dipasok ke Marga Okapallo. "Budidaya kakao bisa menjadi sumber pendapatan bagi masyarakat setempat," ujar Bagus.
Dalam budidaya kakao, imbuhnya, maksimal lahan yang bisa ditanamani pohon sekitar 70% dari total luas lahan. Jarak tanamnya sekitar 1,1 meter.
Dalam sepekan, Bagus bisa memanen sekitar 150 ton buah kakao, baik hasil panen dari kebun sendiri maupun dari mitra binaannya. Bagus membeli kakao dari mitranya dengan harga US$ 1,8-US$ 2,1 per kilogram (kg).
Selanjutnya dia akan memasarkan kembali buah kakao itu. Setiap pekan, dia menjual sedikitnya 125 ton buah kakao. Dengan harga jual Rp 20.000 per kg, dia meraih omzet hingga Rp 2, 5 miliar. "Uang itu diputar lagi untuk biaya penanaman kakao," ujarnya.
Bagus bilang, sebagian besar pembeli kakao adalah pedagang yang menjual kembali biji kakao dalam kemasan. Salah satunya Gafar, penyalur biji kakao di Kendari, Sulawesi Tenggara. "Pelanggan saya berasal dari Jakarta, Bandung, dan Surabaya," ujar Gafar.
Permintaan biji kakao terus hidup sepanjang tahun. Menjelang bulan puasa, produk olahannya pun laris manis di pasaran. Tak heran, banyak pemodal yang tertarik melakoni usaha produk olahan kakao ini. Peningkatan penjualan selama Ramadan mencapai 100% dengan omzet ratusan juta rupiah.
Kita patut mensyukuri tinggal di negara yang berada di kawasan beriklim tropis. Iklim ini membuat Indonesia kaya akan hasil hutan dan komoditas perkebunan. Tanaman kakao adalah salah satu komoditas perkebunan yang memiliki prospek menjanjikan tersebut.
Mulai dari pembudidayaan hingga pengembangan produk olahan, tanaman buah yang tersebar di berbagai daerah ini bisa menjadi komoditas bisnis yang menguntungkan. Pasalnya, kakao bisa diolah menjadi berbagai produk olahan cokelat.
Tanaman yang berasal dari Amerika Selatan ini memiliki bentuk daun panjang membulat dengan ujung meruncing. Warna buah merah kecoklatan hingga merah jingga. Banyak orang percaya kakao dan produk olahan cokelat memiliki banyak khasiat.
Kandungan antioksidan yang terkandung dalam kakao bisa menangkal radikal bebas. Selain itu, kakao mampu membuat tubuh jadi rileks, mengurangi penyakit sulit tidur, dan membangkitkan semangat.
Berbagai khasiat ini membuat permintaan kakao terus mengalir, baik dalam bentuk bahan baku ataupun sudah berbentuk produk olahan cokelat.
Banyak pemodal yang tertarik terjun ke bisnis olahan kakao. Salah satunya adalah PT Bestindo Harmony Entplus. Perusahaan yang baru berjalan empat bulan ini memproduksi berbagai produk kesehatan. Di antaranya, produk cokelat bubuk dari tanaman kakao, yang diberi merek Expresso Harmony Chocolate.
Jaswadi, Manajer Pemasaran PT Bestindo Harmony Entplus, mengatakan, perusahaannya telah meluncurkan lima produk ke pasaran. Dan, produk olahan kakao mencapai sekitar 70% dari total penjualannya. "Peminat minuman cokelat cukup tinggi," ujarnya.
Menjelang bulan Ramadan, tepatnya sejak awal Agustus lalu, permintaan produk cokelat bubuk meningkat hingga 100%. Pada bulan biasa, penjualan Expresso Harmony sekitar 750 paket. Sedangkan menjelang Lebaran seperti sekarang, penjualannya mencapai 1.500 paket.
Bestindo menjual satu paket Expresso Harmony dengan harga Rp 360.000. Paket ini terdiri dari lima dus berisi masing-masing 15 sachet. Jika perusahaan ini menjual 1.500 paket, maka omzet penjualan produk kakao olahan ini Rp 540 juta.
Walaupun di dalam negeri produksi kakao melimpah, Bestindo masih mendatangkan bahan baku kakao dari Malaysia. Persoalan harga menjadi alasan Jaswadi membeli kakao jiran itu.
Bagus Soesintho, pembudidaya kakao yang berada di bawah bendera usaha PT Marga Okapallo di Semarang, menyebut produknya kerap diekspor ke berbagai negara. "Padahal saya kewalahan memenuhi permintaan dari dalam negeri," ujarnya.
PLASTIK RAMAH LINGKUNGAN DARI MINYAK SAWIT
Diposting oleh : d4nu - Dibaca: 621 kali
Selama ini plastik dihasilkan dari bahan baku petrokimia yang tidak ramah lingkungan, padahal ternyata bahan alami (renewable) pun dapat diproses menjadi bahan baku pembuatan plastik.
Plastik hasil temuan Dr. Ir. Khaswar Syamsu, M. Sc. dari IPB ini diharapkan bisa menjadi solusi alternatif bagi kecemasan umat manusia dalam menghadapi bencana lingkungan akibat sulit terurainya plastik dari minyak bumi. (BIC)
Diposting oleh : septian - Dibaca: 526 kali
Produsen makanan terutama yang berasal dari Eropa dan Amerika mulai memenuhi stok kakao untuk bahan baku pembuatan cokelat. Tak heran kenaikan terjadi sebab produk olahan kakao yang sangat bervariasi itu memang menjadi incaran banyak pihak terutama di hari-hari besar atau jelang pergantian tahun. Lalu, bagaimana dengan komoditas agribisnis kakao lokal? Apakah komoditas tersebut juga laris manis, semanis produk olahannya, dan patut dilirik?
CocoaIndonesia mempunyai perkebunan kakao cukup luas dengan hasil panen yang mampu memberikan sumbangan devisa bagi negara serta turut aktif meningkatkan sektor agroindustri. Sejak era 1980-an, perkebunan kakao di tanah air berkembang pesat dengan luas lahan perkebunan kakao saat ini mencapai kurang lebih 1,1 juta ha dan jumlah produksi sekitar 730 ribu ton/tahun biji kakao.
Konsumsi
Konsumsi kakao pada dasarnya dapat dibedakan antara konsumsi biji kakao dan konsumsi cokelat, dimana konsumsi biji kakao dihitung berdasarkan kapasitas pengolahan atau grinding capacity, sementara konsumsi cokelat dihitung berdasarkan indeks per kapita. Dalam perdagangan kakao, yang menentukan harga kakao dunia adalah konsumsi biji kakao yang mempunyai relasi erat dengan produksi serta interaksi yang terjalin diantara keduanya. Harga kakao akan bergerak naik bila konsumsi biji kakao lebih besar dari produksinya dan begitu pula sebaliknya, harga kakao akan merosot turun jika konsumsi biji kakao lebih kecil dari produksi.
Perdagangan
Perdagangan kakao Indonesia di pasar dunia dinilai terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Dari data Kementerian Perindustrian, ekspor kakao olahan Indonesia meningkat dari Rp1,2 triliun pada Januari-Mei 2010 menjadi Rp2 triliun pada tahun 2011. Ekspor cokelat untuk periode yang sama juga turut naik dari Rp106 miliar pada tahun 2010 menjadi Rp139 miliar pada tahun 2011.
Sementara jika ditilik dari dalam negeri, agroindustri ini juga mengalami peningkatan. Dari penjelasan Direktur Eksekutif Asosiasi Industri Kakao Indonesia (AIKI), Sindra Wijaya, konsumsi biji kakao oleh industri dalam negeri meningkat menjadi 180.000 ton pada 2010 dari 125.000 ton pada 2009. Tahun ini, industri kakao dalam negeri diprediksi akan mampu menyerap 280.000 ton biji kakao. Dari peningkatan penyerapan industri domestik tersebut, diharapkan cocoa powder, cocoa butter dan cocoa cake Indonesia bisa mencapai 200.000 ton pada 2012.
Sambung samping
Bagi yang tertarik membudi daya kakao, cobalah teknik sambung samping. Teknik itu adalah teknik perbaikan tanaman tua tanpa harus membongar tanaman. Dari penjelasan laman Bertani, pada prinsipnya sambung samping menggabungkan atau menyambung batang bawah dengan klon yang dikehendaki.
Secara ekonomis teknik sambung samping cukup menguntungkan. Pelaksanaannya, tak perlu menunggu terlalu lama untuk panen. Prosedurnya seperti ini. Penyambungan sebaiknya dilakukan pada pagi hari dan awal musim hujan agar tanaman yang akan disambung masih dalam keadaan segar dan mudah terkelupas. Teknisnya, batang kakao dikerat pada ketinggian 40-60 cm dari permukaan tanah.
Setelah itu batang disayat dengan pisah bersih selebar 1 cm dengan panjang 2-4 cm. sayatan dibuka dengan hati-hati agar tak merusak cambium. Lalu entres dimasukkan dengan hati-hati ke dalam lubang sayatan sampai ke dasar sayatan dan sebelum plastik penutup dipasang, kulit batang tanaman pokok ditutup kembali sambil ditekan dengan ibu jari dan diikat.
Dengan teknik sambung samping, kakao lebih cepat dipanen yaitu ketika berumur 14-18 bulan dengan produksi mencapai 1.500 kg sampai 2.500 kg/ha/thn. (*/dari berbagai sumber)
'Melirik Peluang Bisnis Kakao':
Menggiurkan, Budidaya kakao beromset 2 M per bulan?
Kakao adalah komoditas perkebunan yang bernilai ekonomi tinggi. Tanaman yang merupakan bahan baku cokelat ini dapat berbuah sepanjang tahun. Makanya, banyak petani kepincut membudidayakannya. Seorang pembudidaya kakao di Semarang meraup omzet Rp 2 miliar per bulan.
Kakao atau Theobroma cacao L., merupakan salah satu komoditas perkebunan yang cocok dengan kultur tanah dan iklim di Indonesia. Tanaman ini termasuk golongan tumbuhan tropis.
Tanaman penghasil biji kakao ini berasal dari daerah hutan tropis di Amerika Selatan. Di habitat asalnya, kakao biasa tumbuh di bagian hutan hujan tropis yang terlindung di bawah pohon-pohon besar.
Di Indonesia, kakao banyak tumbuh di daerah Sulawesi, Lampung, dan Flores, Nusa Tenggara Timur. Maklum, di daerah tersebut banyak terdapat lahan tidur yang cocok ditanami kakao.
Apalagi, hasil komoditasnya yang bernilai ekonomi tinggi mendorong minat para petani di sana untuk membudidayakannya. Namun, tidaklah mudah membudidayakan tanaman ini. Persiapan naungan dan lahan merupakan dua hal penting yang perlu diperhatikan. Naungan itu bisa berupa tanaman pelindung, seperti lamtoro, gleresidae, dan albazia. Selebihnya, proses membudidayakan kakao tak terlalu rumit.Adalah Bagus Soesintho, salah seorang petani yang sukses membudidayakan tanaman kakao. Di bawah bendera usaha PT Marga Okapallo di Semarang, Jawa Tengah, dia membudidayakan kakao di sejumlah daerah, seperti di Flores, NTT.
Selain memiliki lahan budidaya sendiri, dia juga menerapkan pola inti plasma untuk bekerjasama dengan masyarakat sekitar. Bentuknya adalah kelompok mitra.
Dalam kemitraan tersebut, Bagus menyediakan modal, mulai dari bibit, pupuk hingga penyuluhan kepada masyarakat. Saat ini, petani kakao yang menjadi mitra binaannya tersebar di tiga kabupaten di Flores.
Karena bentuknya inti plasma, maka hasil panen kakao petani dipasok ke Marga Okapallo. “Budidaya kakao bisa menjadi sumber pendapatan bagi masyarakat setempat,” ujar Bagus.
Dalam budidaya kakao, imbuhnya, maksimal lahan yang bisa ditanamani pohon sekitar 70% dari total luas lahan. Jarak tanamnya sekitar 1,1 meter.
Dalam sepekan, Bagus bisa memanen sekitar 150 ton buah kakao, baik hasil panen dari kebun sendiri maupun dari mitra binaannya. Bagus membeli kakao dari mitranya dengan harga US$ 1,8-US$ 2,1 per kilogram (kg).
Selanjutnya dia akan memasarkan kembali buah kakao itu. Setiap pekan, dia menjual sedikitnya 125 ton buah kakao. Dengan harga jual Rp 20.000 per kg, dia meraih omzet hingga Rp 2, 5 miliar. “Uang itu diputar lagi untuk biaya penanaman kakao,” ujarnya.
Bagus bilang, sebagian besar pembeli kakao adalah pedagang yang menjual kembali biji kakao dalam kemasan. Salah satunya Gafar, penyalur biji kakao di Kendari, Sulawesi Tenggara. “Pelanggan saya berasal dari Jakarta, Bandung, dan Surabaya,” ujar Gafar. Dicanangkannya Gerakan Peningkatan Produksi dan Mutu Kakao Nasional karena dipandang bahwa komoditi Kakao merupakan komoditi yang sangat penting karena hampir 90% dimiliki oleh petani (Perkebunan Rakyat) dari total areal sekitar 1,5 juta ha, selain juga akhir-akhir ini terjadi penurunan produksi di tingkat petani dikarenakan serangan hama, kurangnya pemeliharaan dan terlambatnya melakukan peremajaan, di samping itu kualitas kakao kita tergolong rendah. Negara-negara pengimpor kakao Indonesia menginginkan standarisasi dari kakao kita, diharapkan dengan gerakan ini produksi kakao kita dapat diperbaiki sehingga dapat menghasilkan biji kakao yang berkualitas baik. Tidak bias kita pungkiri bahwa kakao kita di pasar dunia digolongkan kelas II dikarenakan banyaknya kotoran yang terkandung di dalamnya. Akibat mutu rendah, potensi kerugian ekspor biji kakao Indonesia ke AS mencapai + US $ 301,5/ton. Untuk itu Kakao Organik sedang diincar oleh importir kakao.
Lalu, bagaimana budidaya kakao organik ?
Persiapan Lahan
- Bersihkan alang-alang dan gulma lainnya
- Gunakan juga tanaman pelindung seperti Lamtoro, Gleresidae dan Albazia, tanaman ini ditanam setahun sebelum penanaman kakao dan pada tahun ketiga jumlah dikurangi hingga tinggal 1 pohon pelindung untuk 3 pohon kakao ( 1 : 3 ).
Pembibitan
- Sebelum dikecambahkan benih harus dibersihkan lebih dulu daging buahnya dengan abu gosok
- Rendam biji kakao dengan Biotama 1, untuk mempercepat masa dormansi
- Biji kakao dikecambahkan dengan karung goni dalam ruangan, setiap hari disiram 2 kali dalam sehari (pagi dan sore)
- Sementara itu siapkan polibag ukuran 30 x 20 cm , isi dengan tanah dan pupuk kandang (1 : 1) yang dibuat menggunakan Biotama 3
- Kecambah dipindah ke Polybag jika 2-3 hari yang berkecambah lebih 50%
- Tiap 2 sd 3 minggu sekali bibit disemprot dengan campuran Biotama 1 dan air (1 tutup botol Biotama 1 dilarutkan dalam air 1 liter) pada pagi hari (sebelum jam 7 pagi) atau sore hari (setelah jam 16.00) setelah matahari mulai redup.
Penanaman dan Pemeliharaan
Pada akhir musim hujan, buat lubang tanam dengan ukuran 60 x 60 x 60 cm, berikan pupuk kandang (yang dibuat dengan Biotama 3) sebanyak 0,5 sd 1 kg/lubang. Sebelum penanaman bibit dipastikan bahwa tanaman naungan sudah mempunyai tinggi tanaman sekitar 1 sd 1,5 m.
Persiapan Lahan
- Bersihkan alang-alang dan gulma lainnya
- Gunakan juga tanaman pelindung seperti Lamtoro, Gleresidae dan Albazia, tanaman ini ditanam setahun sebelum penanaman kakao dan pada tahun ketiga jumlah dikurangi hingga tinggal 1 pohon pelindung untuk 3 pohon kakao ( 1 : 3 ).
Pembibitan
- Sebelum dikecambahkan benih harus dibersihkan lebih dulu daging buahnya dengan abu gosok
- Rendam biji kakao dengan Biotama 1, untuk mempercepat masa dormansi
- Biji kakao dikecambahkan dengan karung goni dalam ruangan, setiap hari disiram 2 kali dalam sehari (pagi dan sore)
- Sementara itu siapkan polibag ukuran 30 x 20 cm , isi dengan tanah dan pupuk kandang (1 : 1) yang dibuat menggunakan Biotama 3
- Kecambah dipindah ke Polybag jika 2-3 hari yang berkecambah lebih 50%
- Tiap 2 sd 3 minggu sekali bibit disemprot dengan campuran Biotama 1 dan air (1 tutup botol Biotama 1 dilarutkan dalam air 1 liter) pada pagi hari (sebelum jam 7 pagi) atau sore hari (setelah jam 16.00) setelah matahari mulai redup.
Penanaman dan Pemeliharaan
Pada akhir musim hujan, buat lubang tanam dengan ukuran 60 x 60 x 60 cm, berikan pupuk kandang (yang dibuat dengan Biotama 3) sebanyak 0,5 sd 1 kg/lubang. Sebelum penanaman bibit dipastikan bahwa tanaman naungan sudah mempunyai tinggi tanaman sekitar 1 sd 1,5 m.
Setelah tanaman berumur 1 bulan setelah tanam, semprotkan larutan Biotama 1 & Biotama 5 pada tanaman di pagi hari sebelum matahari terbit kalau di Indonesia sebelum jam 7 pagi atau sore hari kalau di Indonesia sekitar setelah jam 4 sore (saat matahari belum terbit ataupun matahari sudah terbenam) , waktu penyiraman setiap 2 minggu sekali secara rutin sampai tanaman berbunga. Tanaman disemprot 5 – 6 tangki @ 15 liter larutan Biotama **) tiap Hektar. (fn/kn/bt) www.suaramedia.com
Bagaimana dengan produksi, produktivitas serta mutu kakao Lampung Barat?
Haji Kahar, Kakao dan Kolaka
REP | 28 October 2010 | 13:09
Dibaca: 355
Komentar: 0
Nihil
Di Makassar, media mainstream irit menyorot kisah sukses para perantau asal Sulawesi Selatan di daerah tetangga, seperti Sulawesi Tenggara dan Tengah. Dia dianggap tidak menarik. Tidak istimewa. Mereka lebih sering mewartakan cerita sukses perantau dari Jakarta, Surabaya, Kalimantan, hingga Batam bahkan di negeri jiran.
Mari melongok ke tenggara pulau Sulawesi, di sana kiprah para perantau asal Bugis-Makassar sangat jelas terlihat. Tengoklah di etalase ekonomi maupun panggung politik. Para perantau itu sukses setelah ulet bekerja, membuka lahan usaha tanpa kenal lelah dan rela menderita di awalnya. Mereka datang dari kelas pekerja, pekebun, nelayan, pedagang hingga tokoh masyarakat yang mencoba peruntungan nasib di kampung seberang.
***
Dalam perjalanan menuju Kota Watampone, saya sempat berkenalan dengan salah seorang pekebun kakao yang sukses di Kolaka, Sulawesi Tenggara. Setidaknya melihat investasi luas lahan dan predikat haji yang disandangnya. Namanya, Haji Kahar asal Camba, Maros.
Haji Kahar bercerita bahwa di daerah Kolaka tempatnya tinggal kini, warga Bugis-Makassar sangat banyak. Banyak nama kampung yang menggunakan bahasa Bugis atau Makassar. “Ada daerah di Kolaka namanya kawasan TOSIBA, alias Tondong, Sinjai, Balangnipa,” Katanya.
“Saya kira 80 persen penduduk Kolaka adalah pendatang dari Sulawesi Selatan,” Katanya. Warga asli menurut Haji Kahar disebut suku Bingkoka atau Tolaki. Mereka juga berkebun walau tidak sebanyak warga pendatang.
“Bupati Kolaka sekarang adalah warga asal Kabupaten Soppeng. Sedangkan Bupati di Kabupaten Kolaka Utara adalah orang Bone,” Kata Haji Kahar yang saat itu pulang ke Camba karena orang tuanya meninggal dunia. Kahar muda lahir dan besar di Camba namun kini menetap di Kolaka sebagai pekebun. Usaha kakao ini digelutinya sejak awal tahun 80an. Dia membeli dan membuka lahan kakao pada tahun itu. “Harganya masih Seratus ribu perhektar saat itu. Untuk membuka lahan pun mesti kerja keras karena semak dan belukar sangat padat,” Katanya. Kakaolah yang membuatnya tetap bergairah di masa tuanya kini.
Dia bercerita tentang harga kakao yang fluktuatif dan kerap sulit diprediksi lonjakannya. Informasi dari Haji Kahar menyebutkan bahwa pada tahun 1997 harga kakao menembus angka Rp. 24ribu perkilo. Saat itu harga melonjak drastis karena krisis ekonomi sehingga nilai ekspor besar sekali. Banyak pekebun kakao naik haji. Mereka kaya mendadak.
Harga kakao pada tahun 2009 juga sangat tinggi tetapi kisaran ini tidak berbeda jauh dengan harga sebelumnya yang stabil di angka Rp.20ribu. “Sempat mencapai harga Rp. 27ribu,” Katanya. Harga kakao saat ini di Kolaka berkisar antara Rp. 18ribu hingga Rpm 20ribu di tingkat petani. “Sekarang kita mesti telaten dan giat di kebun, tantangannya juga semakin berat,” katanya. Menurut Haji Kahar, walau tetap merawat kebunnya dengan pemangkasan daun ranting serta mengatur masa panen namun serangan kanker batang dan buah telah mengurangi produksinya.
“Dulu, saat mulai membuka lahan kakao pada tahun 1986, tanaman kami sangat subur. Hingga panen perhektarnya dapat menjadi 300-500 kgs kering. “Saat ini, produksi kakao semakin berkurang karena adanya serangan penyakit itu,” Lanjutnya. Untuk menghindari serangan penyakit Haji Kahar mengatur waktu panennya.
“Biasanya kami giatkan panen pada bulan Pebruari hingga Maret. Saat itu serangan busuk buah kerap ada,” Katanya.
“Saya beli lahan saat itu saat harga masih Rp. 100seribu perhektar di daerah Lapai,” Katanya. Sekarang Haji Kahar telah mengelola 10 hektar kakao di wilayah Kolaka Utara. Dia dibantu oleh anggota keluarganya. Sementara anaknya juga telah mempunyai lahan kakao sendiri.
“Panen biasanya dilakukan dua kali sebulan. Dalam satu hektar dapat menghasilkan Rp. 6 Juta kotor,” Terangnya. Menurutnya, karena ada pekerja yang membantunya maka diberlakukan bagi hasil. “Ada lahan saya yang dikerjakan orang lain jadi berlaku sistem bagi hasil,” Ungkapnya.
“Tapi sekarang produksi tidak stabil, Tidak terlalu bagusmi hasilnya,” kata Haji Kahar dalam logat Maros yang masih jelas. Haji Kahar naik haji tahun 1979 saat masih tinggal di Camba. Tiga puluh tahun kemudian, tepatnya tahun 2009, dia naik haji untuk yang kedua kalinya. Dia bermukim di daerah Samaturu, Kabupaten Kolaka, Sulawesi Tenggara bersama keluarganya. Kunjungannya ke Camba kali ini hanya sendiri. Setelah ini dia akan menempuh perjalanan dengan fery dari Bajoe, Bone menuju Kolaka dengan waktu tempu 10 jam. Kembali ke kampung keduanya.
“Nanti saya akan naik mobil lagi untuk sampai ke rumah,” Katanya.
Dengan mengelola lahan seluas 10 hektar, Haji Kahar dapat menyekolahkan anaknya. Bukan hanya anak dan anggota keluarga lainnya yang memperoleh manfaat dari hijrahnya ke Kolaka ini, beberapa warga kampung di Camba juga memilih berkebun kakao, seperti yang dilakukannya.
“Ada beberapa anak saya yang sekolah bahkan kuliah namun tetap tertarik berkebun kakao. Anak saya yang kelima sedang membangun rumahnya di Sudiang, Makassar,” katanya saat kami berpisah.
Watampone, 26/10/2010
Prospek Cerah Bisnis Kakao
Buah yang memiliki nama latin Theobroma Cacao L tersebut, kini menjadi salah satu komoditas ekspor yang mampu menambah penghasilan devisa negara setiap tahunnya
Selain banyak tumbuh di daerah tropis, buah kakao juga memiliki nilai ekonomi yang sangat tinggi. Tak heran lagi jika saat ini prospek cerah bisnis kakao, menarik minat masyarakat untuk dibudidayakan dan diolah menjadi produk yang bernilai tinggi. Buah yang memiliki nama latin Theobroma Cacao L tersebut, kini menjadi salah satu komoditas ekspor yang mampu menambah penghasilan devisa negara setiap tahunnya. Salah satu hasil olahan kakao yang menjadi komoditas ekspor adalah produk cokelat. Dan yang lebih menguntungkan lagi, kakao dari Negara Indonesia memiliki kandungan lemak cokelat yang cukup tinggi, sehingga menghasilkan bubuk kakao dengan mutu yang baik. Kelebihan ini dapat dijadikan sebagai peluang usaha baru dari hasil budidaya kakao di negara kita.
Melimpahnya buah kakao di Indonesia dengan kandungan lemak cokelat, ternyata tidak selamanya menjamin tingginya kualitas produk yang dihasilkan. Semakin lama, kualitas produk kakao yang ada di negara kita mengalami penurunan harga. Dari mulai fermentasi yang kurang bagus, pengeringan yang belum sempurna, adanya ukuran biji yang tidak seragam, kadar kulit yang cukup tinggi, serta tingkat keasaman yang cukup tinggi, menyebabkan harga kakao Indonesia lebih rendah dibandingkan kakao hasil negara lain.
Turunnya kualitas kakao saat ini, disebabkan pengolahan yang masih kurang. Kebanyakan masyarakat menggunakan sarana pengolahan yang masih minim, masih banyak yang belum menerapkan teknologi untuk menghasilkan produk yang bermutu. Biji kakao yang bermutu diperhatikan para konsumen dari bentuk fisiknya, cita rasanya, kebersihan produknya, keseragaman produk, serta konsistensi kualitas produk dari proses pengolahan yang tepat.
Proses pengolahan buah kakao menjadi kunci utama kualitas produk hasil kakao, karena dalam proses tersebut terjadi pembentukan fisik, cita rasa, serta faktor lain yang menjadi standar produk kakao berkualitas. Untuk itu berikut kami informasikan beberapa proses pengolahan buah kakao, agar menghasilkan produk yang berkualitas:
Pemeraman buah
Pemeraman buah adalah kegiatan yang dilakukan untuk menyeragamkan kematangan buah, sehingga biji kakao lebih mudah dikeluarkan. Kegiatan ini biasanya dilakukan di tempat teduh, selama 5 – 7 hari. Pemeraman dilakukan dengan cara memasukan buah ke dalam keranjang serta permukaannya ditutup dengan daun.
Pemeraman buah adalah kegiatan yang dilakukan untuk menyeragamkan kematangan buah, sehingga biji kakao lebih mudah dikeluarkan. Kegiatan ini biasanya dilakukan di tempat teduh, selama 5 – 7 hari. Pemeraman dilakukan dengan cara memasukan buah ke dalam keranjang serta permukaannya ditutup dengan daun.
Pemecahan buah
Proses pemecahan buah ditujukan untuk mengeluarkan biji kakao dari buahnya. Usahakan untuk tidak mengenai biji kakao, agar biji tidak rusak bentuknya maupun warnanya. Keluarkan biji dan buang empelur yang melekat pada biji.
Proses pemecahan buah ditujukan untuk mengeluarkan biji kakao dari buahnya. Usahakan untuk tidak mengenai biji kakao, agar biji tidak rusak bentuknya maupun warnanya. Keluarkan biji dan buang empelur yang melekat pada biji.
Fermentasi
Fermentasi merupakan kegiatan untuk melepaskan zat lendir dari permukaan kulit biji dan menghasilkan biji dengan mutu dan aroma yang baik. Selain itu fermentasi juga dilakukan untuk menghindari tumbuhnya hama dan jamur selama masa penyimpanan. Fermentasi dapat dilakukan dengan memakai keranjang bamboo yang sudah bersih dan dialasi daun pisang, untuk memasukan kurang lebih 50 kg biji kakao basah. Setelah itu keranjang yang berisi biji kakao permukaannya ditutupi kembali dengan daun pisang, pada hari ketiga lakukan pembalikan biji dan hari keenam biji bisa dikeluarkan untuk siap dijemur.
Pengeringan
Pengeringan dapat dilakukan dengan cara manual, menggunakan mesin pengering, atau kombinasi keduanya. Suhu yang dibutuhkan dalam proses pengeringan, berkisar antara 55 sampai 66 ºc. Untuk lama pengeringan manual kurang lebih 7 hari bila cuaca tidak hujan, namun bila cuaca sering hujan bisa membutuhkan waktu hingga 4 minggu. Sedangkan bila menggunakan mesin pengering, hanya membutuhkan waktu 20 sampai 25 jam. Pengeringan yang sempurna, menghasilkan biji kakao dengan kandungan air 6 – 7 %.
Pengeringan dapat dilakukan dengan cara manual, menggunakan mesin pengering, atau kombinasi keduanya. Suhu yang dibutuhkan dalam proses pengeringan, berkisar antara 55 sampai 66 ºc. Untuk lama pengeringan manual kurang lebih 7 hari bila cuaca tidak hujan, namun bila cuaca sering hujan bisa membutuhkan waktu hingga 4 minggu. Sedangkan bila menggunakan mesin pengering, hanya membutuhkan waktu 20 sampai 25 jam. Pengeringan yang sempurna, menghasilkan biji kakao dengan kandungan air 6 – 7 %.
Sortasi Biji
Sortasi biji dimaksudkan untuk memisahkan antara biji yang baik dengan biji cacat, atau kotoran lain seperti kulit kakao, kerikil, serta daun kakao. Kegiatan ini dilakukan menggunakan ayakan, dan dikerjakan setelah 1 hari atau 2 hari setelah pengeringan, agar biji kakao tidak terlalu rapuh.
Sortasi biji dimaksudkan untuk memisahkan antara biji yang baik dengan biji cacat, atau kotoran lain seperti kulit kakao, kerikil, serta daun kakao. Kegiatan ini dilakukan menggunakan ayakan, dan dikerjakan setelah 1 hari atau 2 hari setelah pengeringan, agar biji kakao tidak terlalu rapuh.
Pengemasan dan Penyimpanan Biji
Untuk pengemasan hindari penggunaan karung plastik, biji kakao lebih bagus dikemas dalam kantong goni. Selain itu pilih ruangan yang bersih serta memiliki ventilasi dengan kelembapan dibawah 75 %. Hindari ruangan yang memiliki aroma tertentu, karena biji kakao akan menyerap aroma tersebut. Beri jarak antara wadah dan lantai ± 8 cm, dan jarak wadah dengan dinding ± 60 cm, dengan begitu biji kakao dapat disimpan selama kurang lebih 3 bulan.
Untuk pengemasan hindari penggunaan karung plastik, biji kakao lebih bagus dikemas dalam kantong goni. Selain itu pilih ruangan yang bersih serta memiliki ventilasi dengan kelembapan dibawah 75 %. Hindari ruangan yang memiliki aroma tertentu, karena biji kakao akan menyerap aroma tersebut. Beri jarak antara wadah dan lantai ± 8 cm, dan jarak wadah dengan dinding ± 60 cm, dengan begitu biji kakao dapat disimpan selama kurang lebih 3 bulan.
Adanya proses produksi serta penggunaan mesin teknologi tepat guna, akan meningkatkan kualitas produk biji kakao yang ada di Indonesia. Berbagai mesin pengolah kakao seperti mesin memecah kulit dan memisahkan biji Kakao, mesin penyangrai, mesin pemasta kasar, mesin pemasta halus, mesin pengupas kulit ari kakao, mesin pemeras lendir biji kakao, kotak fermentasi, mesin pengering kakao, mesin sortasi biji kakao, mesin pengempa lemak, mesin pembubuk cokelat, mesin penghalus cokelat, dll. Dapat membantu para pelaku bisnis untuk mengolah kakao lebih efektif dan efisien, dengan hasil produk yang lebih berkualitas pula.
Semoga dengan informasi potensi bisnis yang dimiliki kakao, dapat memberikan ide bisnis serta informasi pengolahan kakao yang efektif dan efisien bagi Anda yang berada di daerah penghasil kakao. Selamat mencoba dan salam sukses.
Budidaya kakao semanis buah cokelatnya
Posted on January 21, 2012 at 10:20 AM |
Kakao adalah komoditas perkebunan yang bernilai ekonomi tinggi. Tanaman yang merupakan bahan baku cokelat ini dapat berbuah sepanjang tahun. Makanya, banyak petani kepincut membudidayakannya. Seorang pembudidaya kakao di Semarang meraup omzet Rp 2 miliar per bulan.
Kakao atau Theobroma cacao L., merupakan salah satu komoditas perkebunan yang cocok dengan kultur tanah dan iklim di Indonesia. Tanaman ini termasuk golongan tumbuhan tropis.
Tanaman penghasil biji kakao ini berasal dari daerah hutan tropis di Amerika Selatan. Di habitat asalnya, kakao biasa tumbuh di bagian hutan hujan tropis yang terlindung di bawah pohon-pohon besar.
Di Indonesia, kakao banyak tumbuh di daerah Sulawesi, Lampung, dan Flores, Nusa Tenggara Timur. Maklum, di daerah tersebut banyak terdapat lahan tidur yang cocok ditanami kakao.
Apalagi, hasil komoditasnya yang bernilai ekonomi tinggi mendorong minat para petani di sana untuk membudidayakannya. Namun, tidaklah mudah membudidayakan tanaman ini. Persiapan naungan dan lahan merupakan dua hal penting yang perlu diperhatikan. Naungan itu bisa berupa tanaman pelindung, seperti lamtoro, gleresidae, dan albazia. Selebihnya, proses membudidayakan kakao tak terlalu rumit.
Adalah Bagus Soesintho, salah seorang petani yang sukses membudidayakan tanaman kakao. Di bawah bendera usaha PT Marga Okapallo di Semarang, Jawa Tengah, dia membudidayakan kakao di sejumlah daerah, seperti di Flores, NTT.
Selain memiliki lahan budidaya sendiri, dia juga menerapkan pola inti plasma untuk bekerjasama dengan masyarakat sekitar. Bentuknya adalah kelompok mitra.
Dalam kemitraan tersebut, Bagus menyediakan modal, mulai dari bibit, pupuk hingga penyuluhan kepada masyarakat. Saat ini, petani kakao yang menjadi mitra binaannya tersebar di tiga kabupaten di Flores.
Karena bentuknya inti plasma, maka hasil panen kakao petani dipasok ke Marga Okapallo. "Budidaya kakao bisa menjadi sumber pendapatan bagi masyarakat setempat," ujar Bagus.
Dalam budidaya kakao, imbuhnya, maksimal lahan yang bisa ditanamani pohon sekitar 70% dari total luas lahan. Jarak tanamnya sekitar 1,1 meter.
Dalam sepekan, Bagus bisa memanen sekitar 150 ton buah kakao, baik hasil panen dari kebun sendiri maupun dari mitra binaannya. Bagus membeli kakao dari mitranya dengan harga US$ 1,8-US$ 2,1 per kilogram (kg).
Selanjutnya dia akan memasarkan kembali buah kakao itu. Setiap pekan, dia menjual sedikitnya 125 ton buah kakao. Dengan harga jual Rp 20.000 per kg, dia meraih omzet hingga Rp 2, 5 miliar. "Uang itu diputar lagi untuk biaya penanaman kakao," ujarnya.
Bagus bilang, sebagian besar pembeli kakao adalah pedagang yang menjual kembali biji kakao dalam kemasan. Salah satunya Gafar, penyalur biji kakao di Kendari, Sulawesi Tenggara. "Pelanggan saya berasal dari Jakarta, Bandung, dan Surabaya," ujar Gafar.
Permintaan biji kakao terus hidup sepanjang tahun. Menjelang bulan puasa, produk olahannya pun laris manis di pasaran. Tak heran, banyak pemodal yang tertarik melakoni usaha produk olahan kakao ini. Peningkatan penjualan selama Ramadan mencapai 100% dengan omzet ratusan juta rupiah.
Kita patut mensyukuri tinggal di negara yang berada di kawasan beriklim tropis. Iklim ini membuat Indonesia kaya akan hasil hutan dan komoditas perkebunan. Tanaman kakao adalah salah satu komoditas perkebunan yang memiliki prospek menjanjikan tersebut.
Mulai dari pembudidayaan hingga pengembangan produk olahan, tanaman buah yang tersebar di berbagai daerah ini bisa menjadi komoditas bisnis yang menguntungkan. Pasalnya, kakao bisa diolah menjadi berbagai produk olahan cokelat.
Tanaman yang berasal dari Amerika Selatan ini memiliki bentuk daun panjang membulat dengan ujung meruncing. Warna buah merah kecoklatan hingga merah jingga. Banyak orang percaya kakao dan produk olahan cokelat memiliki banyak khasiat.
Kandungan antioksidan yang terkandung dalam kakao bisa menangkal radikal bebas. Selain itu, kakao mampu membuat tubuh jadi rileks, mengurangi penyakit sulit tidur, dan membangkitkan semangat.
Berbagai khasiat ini membuat permintaan kakao terus mengalir, baik dalam bentuk bahan baku ataupun sudah berbentuk produk olahan cokelat.
Banyak pemodal yang tertarik terjun ke bisnis olahan kakao. Salah satunya adalah PT Bestindo Harmony Entplus. Perusahaan yang baru berjalan empat bulan ini memproduksi berbagai produk kesehatan. Di antaranya, produk cokelat bubuk dari tanaman kakao, yang diberi merek Expresso Harmony Chocolate.
Jaswadi, Manajer Pemasaran PT Bestindo Harmony Entplus, mengatakan, perusahaannya telah meluncurkan lima produk ke pasaran. Dan, produk olahan kakao mencapai sekitar 70% dari total penjualannya. "Peminat minuman cokelat cukup tinggi," ujarnya.
Menjelang bulan Ramadan, tepatnya sejak awal Agustus lalu, permintaan produk cokelat bubuk meningkat hingga 100%. Pada bulan biasa, penjualan Expresso Harmony sekitar 750 paket. Sedangkan menjelang Lebaran seperti sekarang, penjualannya mencapai 1.500 paket.
Bestindo menjual satu paket Expresso Harmony dengan harga Rp 360.000. Paket ini terdiri dari lima dus berisi masing-masing 15 sachet. Jika perusahaan ini menjual 1.500 paket, maka omzet penjualan produk kakao olahan ini Rp 540 juta.
Walaupun di dalam negeri produksi kakao melimpah, Bestindo masih mendatangkan bahan baku kakao dari Malaysia. Persoalan harga menjadi alasan Jaswadi membeli kakao jiran itu.
Bagus Soesintho, pembudidaya kakao yang berada di bawah bendera usaha PT Marga Okapallo di Semarang, menyebut produknya kerap diekspor ke berbagai negara. "Padahal saya kewalahan memenuhi permintaan dari dalam negeri," ujarnya.
Diposting oleh : d4nu - Dibaca: 621 kali
Hidrolisat minyak sawit dapat dimanfaatkan sebagai sumber karbon dalam proses fermentasi untuk menghasilkan bioplastik PHA (Polyhydroxy Alkanoat) menggunakan Ralstonia Euthropa. Dengan komposisi yang tepat dapat dihasilkan bahan bioplastik yang handal.
Poliester yang dihasilkan dapat divariasikan kekuatan dan kekerasannya untuk berbagai pengggunaan serta resisten terhadap kelembaban, disamping dapat didegradasi secara biologis (biodegradable).
Sejumlah keunggulan yang dimiliki produk ini yakni:
- Kekuatan dan kekerasannya dapat divariasikan sesuai kebutuhan
- Resisten terhadap kelembaban
- Dapat didegradasi secara biologis
- Biaya bahan baku relatif jauh lebih murah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar